Topik X: ISLAM DI INDONESIA
PRANATA PENDIDIKAN ISLAM
Sejalan dengan berlangsungnya proses islamisasi maka tumbuh model baru dalam rangka proses sosialisasi ajaran Islam. Proses itu adalah pembentukan sistim kependidikan Islam yang bermula dari musalla kemudian peserta didik yang terus bertambah maka dikembangkan dengan berdirinya mesjid. Setelah setiap selesai pelakasanaan ibadah solat maka dilanjutkan dengan pengenalan terhadap ajaran Islam. Dan biasanya yang menjadi pokok pengajaran di mesjid adalah berkenaan dengan peneguhan akidah, pemantapan seluruh aspek ajaran Islam ayang terhimpun dalam ibadah. Bidang terakhir adalah pendidikan terhadap pembentukan perilaku yang disebut akhlak. Kajian terhadap akhlak biasanya memakan waktu yang lama karena akan berlanjut kepada pelembagaan proses pembentukan perilaku dalam bentuk kajian yang lebih khusus yang disebut tasawuf atau tarekat.
Setelah pendidikan di mesjid tidak mampu lagi menampung maka diperlukan institusi yang lain. Sejak saat iu, maka berdiri pondok pesantren dalam bentuk rumah-rumah kecil yang menjadi tempat tinggal para santri dan selanjutnya lembaga pendidikan itu terpisah dari manajemen masjid yang kemudian disebut pondok pesantren. Murid dari pesantren terbagi dua kelompok yaitu ada yang menetap karena rumahnya jauh atau ada aspek pertimbangan lain yaitu ingin berada sedekat mungkin dengan para kiai, tuan guru, syekh dan lain sebagainya agar tata kehidupan kiai dapat menjadi model kehidupan yang islami. Tetapi ada juga santri karena jarak yang dekat dengan rumahnya lalu tetap tinggal di rumah dan setelah selesai pengajian kemudian kembali ke rumahnya yang disebut dengan santri kalong. Pesantren selain wadah proses internalisasi Islam, pesantren juga menjadi tempat pelembagaan gerakan politik Islam. Sehingga lahirlah para pemimpin perjuangan kemerdekaan yang memiliki riwayat panjang sebagai warga pesantren. Dengan demikian terjadi pengembangan fungsi pesantren. Pertama, ustaz, kiai atau tuan syekh yang menjadi pemimpin pesantren pada dasarnya adalah pemilik pesantren baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, pemimpin pesantren sekaligus juga berperan sebagai perantara budaya (cultural broker) manakala ada ide yang akan masuk ke pesantren harus terlebih dahulu memperoleh legitimasi dari pemimpin pesantren. Kedua, pesantren juga sekaligus sebagai wahana penyiapan sekaligus calon pemimpin masyarakat dan bangsa.
Penjelasan Geertz lebih lanjut tentang cultural broker bisa dilihat dalam Clifford Geertz, “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker”, dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. 2, No. 2, Januari 1960, h. 233 dan 249, serta penjelasan tentang aktualisasi peran kyai ini bisa dilihat Clifford Geertz, The Religion of java (London: The University of Chicago Press, 1960), h. 134-138. Hiroko Horikoshi menyempurnakan hipotesis Geertz dengan menyatakan bahwa kyai tidak hanya berperan sebagai cultural broker tetapi juga sebagai penggerak perubahan, inspirator, dan mediator dalam masyarakat, lebih lanjut lihat Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, terj. Djohan Effendi dan Muntaha Azhari (Jakarta: LP3ES, 1987), atau terbitan versi lainnya, Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, transl. Umar Basalim dan Andi Muarly Sanrawa (Jakarta: P3M, 1987), h. 5-6.
Dhofier menyatakan bahwa para kyai adalah tokoh sentral dalam komunitas Islam Tradionalis, khususnya terhadap dua institusi, yaitu pesantren dan organisasi ulama (NU). Para kyai adalah elemen utama yang melahirkan, mengembangkan, dan menentukan arah kedua institusi tersebut, lebih lanjut lihat zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 93. Pembahasan tentang peran ulama ini lebih lanjut bisa dilihat dalam Iik Arifin Mansurnoor, Islam in an Indonesian World: Ulama of Madura (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), h. 36, dan Zulkifli, “The Ulama in Indonesia: Between Religious Authority and Symbolic Power, dalam MIQOT Vol.XXXVII, No. 1, Januari-Juni 2013, h. 182-183, selanjutnya pembahasan tentang cultural broker dan aktualisasinya bisa dilihat Ade Solihat, “The Cultural Broker and Alms: The Key Concepts to Understanding Turkish School in Indonesia”, dalam Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity and Future, 9-10 Pebruari 2012, h. 53-55. Kyai atau Ulama sebagai pimpinan keagamaan bisa dilihat lebih lanjut dalam Yanwar Pribadi, “Religious Networks in Madura:Pesantren, Nahdlatul Ulama and Kiai as the Core of Santri Culture”, dalam Al-Jamiah Vol. 51, No. 1, 2013, h. 20-26
Faktor terjadinya penguatan Islam di nusantara adalah disebabkan karena berlangsungnya proses sosialisasi dan internalisasi Islam. Proses sosialisasi berlangsung dalam berbagai pertemuan baik dalam bentuk tablig maupun pertemuan lainnya. Akan tetapi sosialisasi baru menghasilkan dorongan semangat terhadap ajaran Islam. Selanjutnya pengisian ilmu-ilmu keislaman berlangsung di pondok pesantren. Pesantren merupakan proses pewarisan ilmu-ilmu keislaman warisan era kemunduran Islam. Oleh karena itu, bidang kajian keislaman lebih banyak berkaitan dengan format keilmuan era kemunduran Islam. Sekalipun Islam telah menyebar di nusantara pada abad I hijrah dan selanjutnya terjadi era kejayaan peradaban Islam pada abad I sampai 7 hijrah akan tetapi wacana peradaban itu hanya berkembang ke dunia barat dan tidak mencapai Asia Tenggara. Oleh karena itu, wacana keilmuan Islam yang berkembang ke Asia Tenggara adalah keilmuan yang berwajah kemunduran yang lebih menekankan upaya melanjutkan pemeliharaan warisan ulama salaf (ihya atsar al salaf). Dan itulah yang dikenal sekarang dengan sebutan kitab kuning. Oleh karena itu, wacana keilmuan Islam di pesantren lebih banyak berbentuk hafalan sebagai kelanjutan dari pemeliharaan warisan keilmuan masa lalu. Dorongan penggunaan akal kurang mendapat tempat di pesantren sehingga berkembang dalam pengamatan orang luar sebuah tradisi di pesantren yang disebut religio feodalisme yaitu sikap feodal yang dikemas dalam term-term keagamaan.
Akan tetapi, sekalipun pola pendidikan di pesantren lebih dikembangkan tradisi adab berguru (adab ta’lim wa al muta’allim) dilihat orang luar sebagai kemunduran pengajaran Islam akan tetapi dalam posisi Indonesia yang sedang menghadapi era kolonialisme maka cara pengajaran seperti itu justru memberi keuntungan di dalam menumbuhkan sikap ksatria di bawah semboyan jihad. Tumbuhnya semangat nasionalisme utamanya didasarkan pada semangat aplikasi ajaran Islam dalam diri setiap muslim. Sebagai contoh, amaliah solat yang dikemas dalam bentuk berjamaah melahirkan solidaritas antar umat seiman yang secara bersama menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan. Hal ini kemudian memicu semangat jihad yang diformalkan pada tanggal 22 Oktober 1945 yang disebut dengan Resolusi Jihad. Salah satu diantara butir resolusi itu adalah hukumnya fardu ‘ain bagi setiap umat Islam yang berada pada radius 93 km dari Surabaya untuk ikut berperang di jalan Allah melawan penjajah (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, Yogyakarta, LKiS, 2013).
Pada dasarnya wacana keilmuan yang dikembangkan di pesantren adalah model pendidikan yang mengajarkan kitab kuning dengan materi tentang akidah, fiqh dan akhlak. Pesantren mengajarkan ilmu agama yang pada dasarnya merupakan khazanah pemikiran pada era kemunduran Islam yang ditulis pada sekitar terjadinya masa disintegrasi Islam yaitu berawal pada abad XIII dan terus berlangsung sampai abad XV. Perubahan model pendidikan di pesantren pada mulanya dirintis oleh KH Wahid Hasyim dan KH M Ilyas yang membagi pesantren menjadi dua yaitu ‘ammah yaitu pengajian kitab kuning, serta pesantren yang mulai memperkenalkan seperti Bahasa Belanda yang kemudian disebut dengan model khassah. Kemudian pada saat sekarang ini berkembang pesantren modern yang banyak menyerap pengetahuan modern dan lebih menekankan kemampuan mengkomunikasikan Islam ke dalam kehidupan global. Sementara pesantren klasik lebih mengutamakan penguasaan terhadap kitab fiqh karena mereka diarahkan menjadi penerus generasi kiai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar