Topik IX: Islam Indonesia
PRANATA POLITIK ISLAM
Sebagaimana disinggung di atas, aspek keislaman yang berkembang di Indonesia dimulai dengan pranata politik Islam. Munculnya pranata politik adalah akibat dari raja sebuah daerah masuk Islam yang kemudian menarik semua rakyatnya menganut Islam. Dengan terbentuknya kerajaan Islam maka mulai diisi oleh berbagai ciri keislaman. Di antara ciri keislaman yang awal dipersiapkan adalah pengaturan di bidang hukum-hukum keluarga yang berkaitan dengan pernikahan, waris, wakaf, hudud dan lain sebagainya. Raja dari kerajaan Islam merupakan simbol dari khalifah dalam sejarah Islam. Di bawah raja terdapat sejumlah petugasnya. Di antara petugas kerajaan tersebut terdapat pribadi atau lembaga yang bertugas sebagai penasehat bagi raja. Hal ini disebabkan karena raja bukan berasal dari ahli agama tetapi karena pesona kepribadiannya yang kemudian memperoleh pengakuan terhadap kepemimpinannya sehingga ia diangkat menjadi raja. Untuk mengintegrasikan nilai keislaman maka dalam struktur kerajaan dimasukkan ahli Islam yang disevut ulama. Dalam tampilan struktural, ahli agama tersebut diberi gelar jabatan seperti Tuan Kadi, Penghulu. Sebutan Tuan Kadi dimaksudkan bahwa pejabat tersebut diberi wewenang memutus persoalan yang berkenaan dengan perselisihan dalam hal agama seperti harta warisan, hibah, cerai dan sebagainya. Pokoknya semuanya berkenaan dengan hukum-hukum keluarga (ahwal al syakhshiah). Tugas Penghulu lebih spesifik yaitu nengurus kegiatan perkawinan, penetapan wali, wali hakim dan sebagainya. Ulama yang menjadi penasehat raja mempunyai kaitan dengan tradisi yang berkembang pada masa Dinasti Turki Usmani yang menetapkan ulama sebagai syaikh al islam. Bidang hukum yang dikembangkan di dalam kerajaan pada umumnya merujuk kepada Mazhab Syafii karena pada umumnya, aliran mazhab yang menjadi anutan mayoritas masyarakat di Indonesia atau Asia Tenggara adalah merujuk kepada Mazhab Syafii. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh organisasi keislaman pada umumnya mengikuti Mazhab Syafii. Sungguhpun kemudian muncul kelompok umat Islam yang lain melakukan koreksi.
Kedudukan Tuan Kadi atau Penghulu sangat terbatas mengingat munculnya aspek politik Islam di Indonesia adalah kelanjutan dari kerajaan-kerajaan sebelumnya yang terbentuk dalam masyarakat Hindu dan Buddha. Sehingga munculnya kerajaan Islam hanya meneruskan kerajaan versi Hindu dan Buddha namun mengalami perubahan agama. Selain dari itu, kerajaan Islam di nusantara tidak memiliki jalinan kerjasama antar sesama kerajaan seperti di Aceh, Jambi, Minangkabau, Palembang, Makassar, Banjar, Ternate, Buton, Tidore dan lainnya. Hal itu disebabkan tidak ada tokoh yang muncul menjadi pemersatu . Kalaupun ada tokoh yang terkenal seperti Pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basyah, Kiai Maja, Tuanku Imam Bonjol dan lainnya telah ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol ke Manado, Hasanuddin ke Afrika Selatan dan sebagainya. Sehingga kekuatan Islam tidak memiliki tokoh pemersatunya. Selain dari itu, wajah kerajaan di nusantara lebih dominan dipengaruhi oleh persepsi budaya terutama dalam penggunaan bahasa lokal sehingga kesulitan memahaminya oleh kerajaan antar daerah.
Oleh karena itu, kalaupun ada usulan menjelang kemerdekaan untuk menegaskan Indonesia sebagai negara agama akan mengalami hambatan karena tidak ada tokoh pemersatunya. Jadi konsep negara agama itu adalah konsep yang usang yang disebut Sukarno dengan proto nasionalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar