Jumat, 29 Mei 2020

ISLAM DI INDONESIA : MUATAN AJARAN ISLAM

REVIEW MATERI MUATAN AJARAN ISLAM

Oleh Kelompok 4

Dezan M Fathurrahman

Diyah Fakhirah

Ahmad Fitrianto

Farhan Hawari

 

Muatan ajaran islam ketika di perkenalkan kepada masyarakat cara paling efektifnya adalah melalui sikap atau perilakunya, dari sana orang luar tentu akan memandang islam dari sudut pandang tersebut. Dalam internal komunitas muslim sendiripun pengenalan ajaran islam akan lebih di terima ketika hal tersebut sudah di contohkan dulu sebelumnya dalam wujud kebaikan seseorang yang nampak oleh orang lain. Termasuk di antara keindahan ajaran agama Islam adalah agama ini mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia dan akhlak yang luhur. Dan sebaliknya, agama ini melarang umatnya dari akhlak-akhlak rendahan dan akhlak yang buruk. Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Setelah citra baik terbentuk dari suatu fakta keagamaan yang ada maka keinginan untuk memahami islam secarah lebih dalam melalui substansi ajarannya yang akan membuat peningkatan terhadap etos kerja manusiannya maka akidah akan jadi pegangan yang kuat. Konsep Tauhid dala ajaran islam akan menjadi poros utama terhadap pengenalan Islam selanjutnya. Ketika seseorang telah percaya akan sesuatu yang Esa dan Maha Kuasa tentu akan dijadikan sebagai keyakinan setiap muslim dan membuat ajaran Islam lain akan terlahir sebagai bentuk kepercayaan terhadap sang Maha Kuasa yang berkaitan dengan Ibadah dan juga Muamalah.

Sebagai sebuah agama, Islam bukan hanya merupakan kumpulan doktrin Illahi dan kenabian yang transenden, tetapi juga terwujud dalam realitas sosial. Karena itu, dalam proses akomodasi kultural dapat dilihat pada kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan tradisi dan adat lokal serta pada kemampuan untuk mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman. Maka secara perlahan, para Pendakwah dalam menyampaikan pesan keagamaan mulai membicarakan hal-hal yang sifatnya sosial. Akan tetapi dakwah yang dilaksanakan di Indonesia sifatnya kesadaran Individual yang tidak terlembagakan dengan baik dan tidak adanya kontinuitas dalam hal penyampaiannya. Hal ini berimbas pada pemahaman islam yang setengah –setengah. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berkata, bahwa awal mula dari konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia maupun internasional biasanya muncul akibat adanya pendangkalan pemahaman agama yang dilakukan oleh para pemeluk agama. Selain itu, formalisasi ajaran agama menjadi hukum positif juga rawan memicu konflik keagamaan di Indonesia.

Akhlak yang luhur dan mulia termasuk perkara yang ditekankan dalam agama ini. Agama ini menekankan dan mendorong kita untuk berhias dengan akhlak yang sempurna terhadap Allah Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga terhadap hamba-hambaNya. Dengan akhlak yang mulia, akan tampaklah kesempurnaan dan ketinggian agama Islam ini, yaitu agama yang indah dan sempurna, baik dari sisi ‘aqidah, ibadah, adab dan akhlak.

Dengan semakin kokoh ‘aqidah dan keimanan seseorang, seharusnya semakin baik pula akhlaknya. Dengan bertambahnya ilmu ‘aqidah dan imannya, bertambah luhur pula akhlaknya. Ketika islam diperkenalkan dengan muatan Akhlak oleh para pendakwah maka semua agama sekalipun oleh kepercayaan lokal dapat menerimanya juga dan sifatnya adalah menjadi universal. Penting diperhatikan bahwa tujuan utama para pendakwah menyampaikan materi akhlak ini untuk menunaikan kewajiban kita terhadap sesama manusia dalam rangka taat kepada Tuhan. Dari hal tersebut akan mendapati titik temu yakni pengayaan kerohanian (spritual enrichment), Kemudian dari hal tersebut akan menjadi sebuah jalan untuk mengenalkan ajaran konsep Tauhid maupun ibadahnya.

Islam mengajarkan sesuatu tidak harus full package dalam artian islam mengajarkan sesuatu secara bertahap dengan tujuan agar ajatan Islam terasa menjadi milik mereka dalam hal proses islamisasi. Al-Qur’an sendiripun diturunkan secara berangsur-angsur sehingga dapat ibrah  yang dapat kita ambil. Rasulpun ketika mengenalkan sesuatu itu selalu melihat situasi dan kondisi umatnya. Misalnya, tentang ziarah kubur yang dulunya dilarang karena ada suatu alasan disana kemudia seiring berjalannya waktu ziarah kubur itu dilarang meskipun dasar hukum fiqihnya menjadi tidak lagi wajib karena perintah setelah ada larangan menjadi mubah. Terlepas dari hal itu ajaran islam memiliki kesan baik dan sangat relevan dan mengikuti perkembangan zaman.

Para pengamat Barat melihat Islam di Indonesia, atau di wilayah Nusantara pada umumnya, sebagai bentuk sinkretisme, bukan Islam yang sebenarnya sebagaimana yang mereka lihat di Timur Tengah; sebuah penampakan Islam yang seragam dengan "jubah dan warna hitam putih"; bukan Islam dengan berbagai "corak warna dan batik", dan Indonesia memang tidak pernah diproklamirkan sebagai sebuah negara Islam. Oleh karena itu proses akhlak tersebut sekaligus juga untuk memurnikan sistim keyakinan. Kepercayaan orang-orang Nusantara membentuk sebuah nilai sehingga ritual-ritual pemujaan, pembacaan mantera, semedi (meditasi), sebab dengan laku tersebut, para penghayat keyakinan memperoleh sebuah nilai yaitu ketenangan batin, sehingga membentuk sebuah makna dari ritualnya tersebut, dan sistem demikian berjalan terus-menerus jika ada kepercayaan baru yang masuk ke Nusantara. Dari hal ini, kita bisa memahami bahwa orang-orang Nusantara dahulu sudah mempunyai sifat toleran dalam menerima kepercayaan baru yang masuk. Hal demikian juga bukan hanya karena tolerannya orang-orang Nusantara dalam menerima ajaran baru yang masuk, tetapi juga agama atau kepercayaan baru yang masuk mampu menyesuaikan dengan tradisi yang dibawa sejak zaman dahulu terutama Islam. Setelah hal-hal yang sifatnya ke Tauhidan akan meningkat pada pelaksanaan peribadahan, dalam hal ini menetapkan hukum fiqih yang sifanya halam dan haram. Hal tersebut adalah hal yang sensitif nantinya tapi denga metode ajaran islam yang dilaksanakan secara bertahap untuk menerima perubahan akan terjadi dengan transisi yang baik dan perlahan dari ajaran akhlak, kemudian akidah dan terkahir ibadah.

Dalam menyampaikan ajaran Islam Wali Songo menggunakan cara-cara persuasif bukan konfrontatif. Anasir-anasir Arab yang tak menjadi bagian dari ajaran Islam tak dipaksakan untuk diterapkan. Sunan Kudus membangun mesjid dengan menara menyerupai candi atau pura. Memodifikasi konsep “Meru” Hindu-Budha, Sunan Kalijogo membangun ranggon atau atap mesjid dengan tiga susun yang menurut KH Abdurrahman Wahid untuk melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ini kearifan dan cara ulama dalam memanifeskan Islam sehingga umat Islam tetap bisa ber-Islam tanpa tercerabut dari akar tradisi mereka sendiri.

 



 


 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ISLAM DI INDONESIA : UTS

NAMA                  : WILDAN RUSYDIAN NIM                      : 11180321000039 JURUSAN            : STUDI AGAMA-AGAMA SEMESTER   ...